Dunia Islam Telah Gagal, Kata Ahli Fisika Nuklir Pakistan

Konflik dan radikalisasi yang terjadi yang melibatkan Muslim di berbagai belahan dunia, baik di negara-negara Islam maupun negara-negara lain, dipandang oleh ahli fisika nuklir Pakistan, Pervez Hoodbhoy, sebagai suatu kegagalan kolektif dunia Islam di abad ke-21 ini.

Keeksklusifan pada diri Muslim seperti penggunaan burqa bagi kaum perempuan dianggap Pervez Hoodbhoy sebagai pemberikan jarak antara Muslim dengan orang lain.

Dalam wawancara dengan Der Spiegel berikut ini, ahli fisika nuklir Pakistan, Pervez Hoodbhoy, memberikan gambaran jelas mengenai negara-negara Islam di abad ke-21..

"Ahli Fisika Nuklir Pakistan: "Masyarakat Islam Secara Kolektif Telah Gagal

Dunia Islam Telah Gagal, Kata Ahli Fisika Nuklir Pakistan

Kerusuhan meningkat di negara-negara Islam, dan kekuatan agama menancapkan kuku setelah revolusi Arab. Ahli Fisika Nuklir Pakistan, Pervez Hoodbhoy melihat adanya “kegagalan kolektif” masyarakat Islam. Ia menjelaskan hal tsb selama wawancara dengan SPIEGEL ONLINE.

Para siswa tampak bergembira di sekitar Pervez Hoodbhoy. Mereka mengenakan topi dan toga wisuda tingkat doctoral. Para wanita muda meletakkan tutup kepala di atas jilbabnya. Mereka baru mengetahui kalau mereka telah lulus ujian. Sekarang mereka ingin foto bersama dengan Hoodbhoy, dosen mereka yang terkenal.

Pervez Hoodbhoy, 62, adalah seorang fisikawan nuklir di Quaid-e-Azam University di Islamabad, ibukota Pakistan. Dia telah mengajar disini sejak tahun 70-an. Dia juga telah belajar dan mengajar di berbagai universitas ternama di Amerika dan Eropa, dan telah menerima berbagai penghargaan terkait berbagai kegiatan ilmiah, dan ia telah terlibat dalam isu-isu politik melalui fisika.

Misalnya, ia mengkritik proyek nuklir Pakistan dan merasuknya peran agama di sektor-sektor ilmiah, budaya dan politik. Dengan bersikap seperti ini, ia menjadikan dirinya musuh bagi Pakistan, negara yang begitu bangga karena memiliki bom atom. Sebuah universitas swasta di Lahore telah memecatnya, dan selama berbulan-bulan ia menanti gaji, hasil kerjanya di Islamabad yang seharusnya telah ia terima.

Walau demikian, tak pernah terpikirkan olehnya untuk meninggalkan Pakistan. Hoodbhoy terlahir sebagai Muslim, dalam sebuah keluarga Ishmaelite. Ia dibenci banyak orang, namun diam-diam dikagumi oleh banyak lainnya. Dan yg jelas ia tidak mau disuruh bungkam. “Aku mengatakan apa yang kupikirkan, dan aku memiliki dasar yang kuat untuk itu,” ujarnya di ruang kerja yg masih ia miliki di universitas dimana ia belum memperoleh gajinya. Foto-foto Jepang setelah kejatuhan bom atom tegantung di dinding, sementara buku-buku mengenai fisika dan politik bertumpuk di mejanya.

Dalam wawancara berikut terungkap mengapa Pervez Hoodbhoy bersikap kritis terhadap agama, serta pandangannya mengenai masa depan masyarakat Islam:
 
SPIEGEL : Tn. Hoodbhoy, Anda senantiasa memperingatkan mengenai radikalisasi Muslim. Bagaimana persisnya sehingga Anda berpendapat demikian?

HOODBHOY: Ketika saya mulai mengajar disini, di Quaid-e-Azam University, Islamabad, awal tahun 70-an, hanya ada satu pelajar di seluruh kampus yang mengenakan burqa. Saat ini, sekitar 70 persen perempuan disini benar-benar tertutup. Hanya 30 persen yang berbusana dengan normal.

SPIEGEL: Apakah siswa-siswa Anda memberikan alasan? Ataukah itu bukan masalah?

HOODBHOY: Kadangkala saya bertanya pada mereka, dan banyak diantaranya berkata Islam menuntut hal itu dari mereka. Lainnya mengatakan mereka mengenakan burqa atau jilbab karena sebagian besar perempuan mengenakannya. Lainnya lagi berkata mereka merasa aman seperti itu, karena saat mereka berdiri menunggu bis tidak ada yang mengganggunya.

SPIEGEL: Lalu, bukan berarti berpaling ke jalan Allah atau penafsiran yang lebih kaku atas agama kan?

HOODBHOY: Ya, tentu saja. Kita telah mengalami revolusi budaya teramat besar di dunia Islam, bukan hanya Pakistan, namun sedikit banyak di semua negara Islam. Pakistan dalam proses perubahan, Afghanistan telah menjadi radikal, Iran, Iraq, berbagai negara di Afrika dan dunia Arab, Mesir, Aljazair, sekarang di Mali. Cepat atau lambat, di Suriah hanya akan terlihat perempuan terbungkus. Tapi, mari lihat komunitas-komunitas Islam di Eropa atau Amerika--mereka terinfeksi virus yang sama. Mengapa? Saya berpikir mereka menyampaikan pesan mereka berbeda dari yang lain. Jilbab pada dasarnya hanya label yang memberi jarak antara engkau dan orang lain. Disampaikan dengan jelas: identitas saya adalah Islam. Identitas ini berkaitan erat dengan perasaan sebagai korban sejarah. Jauh di lubuk hati, Muslim merasakan bahwa mereka telah gagal. Ini campuran sensitivitas yang membuat saya khawatir, karena mengarah ke perilaku yang sangat tidak sehat.

SPIEGEL: Anda melihat masyarakat Muslim gagal secara keseluruhan. Apakah yang Anda maksud?

HOODBHOY: Ada sekitar 1,5 milyar Muslim di seluruh dunia---namun mereka tidak dapat menunjukkan prestasi besar dalam bidang apapun. Tidak di bidang politik, sosial, sains ataupun seni dan sastra. Satu-satunya yang mereka lakukan dengan penuh pengabdian adalah puasa dan sholat. Namun tidak ada usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi kehidupan dalam masyarakat Islam. Tanpa disadari, orang-orang secara alami merasakan ini sebagai kegagalan kolektif.

SPIEGEL: Belakangan, ada yang disebut Arab Spring, dimana orang-orang---Muslim---berjuang untuk kondisi hidup yang lebih layak.

HOODBHOY: Arab Spring hanyalah reaksi terhadap system yang otokratis dan despotism, yang memungkinkan dunia Arab tenggelam dalam kegelapan. Namun, protes-protes tidak ditujukan untuk menuntut kebangkitan budaya atau pengetahuan. Itulah sebabnya tidak banyak perubahan yang diharapkan. Pembebasan sesungguhnya hanya akan terjadi disaat perubahan politik diikuti dengan perubahan budaya, juga perubahan sikap. Muslim-muslim Arab harus menyingkirkan kepercayaan yang salah namun telah tersebar luas, bahwa sains mengandung unsur-unsur agama apapun. Mental Insh’allah, dimana Allah dikatakan bertanggungjawab atas segalanya, bertentangan dengan cara berpikir ilmiah. Selain itu, etika kerja Arab yang buruk. Selalu berhenti untuk mematuhi kewajiban agama. Untuk tetap kompetitif di dunia modern, hal-hal seperti ketepatan waktu dan mematuhi aturan-aturan bersama oleh manusia, bukan Allah, harus diperbaiki secara dramatis.

SPIEGEL: Apakah Anda benar-benar menerima ancaman karena pernyataan seperti ini?

HOODBHOY: Bukan ancaman, tapi mereka mempersulit hidup saya. Saya baru saja dipecat dari Lahore University of Management Sciences, dimana saya mengajar fisika. Ini adalah universitas swasta yang sangat progressive, namun dalam masyarakat ada batasan-batasan ttg apa yang boleh diucapkan. Bahkan disini, di Islamabad, hidup tidak mudah bagi saya. Karena saya professor tetap, mereka tidak bisa memecat saya. Namun saya belum dibayar selama berbulan-bulan. Saya hanya berpegang pada fakta: apa penemuan atau pencapaian signifikan yang telah dibuat Muslim dalam seribu tahun terakhir? Listrik? Gelombang elektromagnetic? Antibiotik? Mesin pembakaran? Komputer? Tidak ada, nol besar, bahkan tidak sumbangan apapun bagi peradaban modern. Dan sama saja sekarang. Dan menurut mereka yang fanatik hal tersebut bukan masalah. Cara berpikir mereka masih dari abad ke-12

SPIEGEL: Ada Muslim yang benar-benar progressive, seperti mereka yang sekuler dan menghargai dunia modern. Dan mayoritas mereka juga lebih moderat dari sudut pandang agama. Anda bersikap tidak fair thp mereka sekarang.

HOODBHOY: Tentu saja ada usaha-usaha oleh sebagian masyarakat Islam untuk menjadi lebih modern di pertengahan abad ke-20. Pakistan adalah gagasan yang sangat modern ketika lahir di tahun 1947. Mesir, Indonesia, Iran, semuanya adalah masyarakat yang melihat pendidikan dan kemajuan sebagai sesuatu yang baik. (Namun) semuanya berakhir. Dan ini memiliki banyak alasan. Nasionalisme Arab gagal. Orang-orang Palestina semakin mundur. Sementara Barat memiliki kepentingan tersendiri thp perkembangan positif di negara-negara Islam, misalnya terkait minyak. Jika ada yang salah, orang-orang berpaling ke Tuhan.

SPIEGEL: Anda katakan ini sudah cukup untuk memicu radikalisasi?

HOODBHOY: Bagi banyak Muslim, satu pertanyaan belum terjawab: mengapa keagungan kita memudar? Dan jawaban yang diberikan para mullah adalah: “Karena kalian bukan Muslim yang baik! Sholat! Puasa! Tutupi perempuan kalian! Renungkan lagi penafsiran kalian terhadap Quran!”

Tidak ada cara untuk maju, dan kita mengalami akibatnya. Di Pakistan, kaum Sunni radikal membunuh Shiah setiap waktu hanya karena mereka dianggap kafir.

SPIEGEL: Dan cara apa yang Anda pandang benar untuk menghentikan perkembangan ini?

HOODBHOY: Masyarakat harus mengalami pengalaman berdarahnya sendiri. Dengan cara inilah Eropa menjadi sekuler. Sebelumnya terjadi pertempuran terus menerus antara Katolik dan Protestan, dan orang-orang kembali ke akal sehat mereka hanya setelah pertumpahan darah berlangsung cukup lama. Yang saya takutkan kita baru memasuki pengalaman mengerikan ini.

SPIEGEL: Terlepas dari itu, sekarang kita harus berurusan dengan kaum radikal. Bagaimana pendapat Anda mengenai pembicaraan dengan Taliban?

HOODBHOY: Mereka yang tidak siap berunding, namun berpegang pada kekerasan harus dieliminasi. Mari kita lihat Taliban di Pakistan: mereka memiliki dua tuntutan, yaitu: Pakistan memutuskan hubungan dengan Amerika, dan syariah ditetapkan sebagai satu-satunya hukum yang berlaku. Mereka tidak menghendaki jalan-jalan, sekolah, dan pekerjaan. Mereka tidak mengenal kompromi. Jelas tidak ada yang bisa berunding dengan mereka. Kita lihat ini di tahun 2009, di Lembah Swat: semakin banyak konsesi yang dibuat pemerintah Pakistan, semakin mereka mendesak maju. Harus ada yang dengan tegas berkata pada mereka: kami hanya akan bernegosiasi dengan kalian jika kalian meletakkan senjata. Dan karena mereka tidak mungkin akan melakukan ini, kita harus melawan mereka. Jika ada perundingan dengan Taliban, ini hanya bisa terjadi dalam posisi yang kuat.

SPIEGEL : Lalu, akankah pemerintah mendapat dukungan rakyat jika melawan Taliban?

HOODBHOY : Ketika pertanyaan tersebut diajukan tahun 2009, apakah pasukan seharusnya terlibat perang dengan Taliban di Lembah Swat, ada oposisi kuat dari sebagian masyarakat. Namun demikian, pasukan tetap bergerak maju. Situasi di Lembah Swat dengan keberadaan Taliban sekarang terlihat lebih baik dari sebelumnya. Saya percaya banyak yang tidak menyukai pasukan, namun mereka lebih tidak menyukai ekstrimis. Saya yakin aksi militer masih berpeluang.

SPIEGEL: Seberapa kuat tingkat radikalisasi dalam tubuh angkatan bersenjata Pakistan, yang memiliki senjata nuklir yg siap digunakan?

HOODBHOY: Terkait komposisinya, angkatan bersenjata tidak jauh berbeda dari masyarakat dimana anggotanya berasal. Masyarakat Pakistan telah mengatur tempat bagi agenda Islam, dan ini juga berlaku pada angkatan bersenjata. Itulah sebabnya mengapa militer menghadapi masalah teramat besar. Ada perwira yang menganggap dirinya bagian dari angkatan bersenjata Pakistan, dan ada perwira yang menganggap dirinya bagian dari pasukan jihad Islam. Bagian sipil dalam tubuh angkatan bersenjata melihat hal ini dengan keprihatinan, namun mereka tidak punya pemecahan atas masalah ini.

Sumber: 
http://www.spiegel.de/politik/ausland/interview-mit-dem-pakistanischen-atomphysiker-pervez-hoodbhoy-a-879319.html
http://www.kaskus.co.id/thread/5193c230db92484d69000009/pervez-hoodbhoy-secara-kolektif-islam-telah-gagal