Indonesia - Konflik komunal antara etnis Rakhine dan etnis Rohingya telah memicu isu pembantaian Muslim Rohingya di Myanmar, yang belakangan kini beredar di mana-mana, dan ternyata pembataian itu tidak ditemukan oleh relawan dari MER-C (Medical Emergency Rescue Committee).
Ketua Divisi Relawan MER-C, dr. Tonggo Meaty Fransisca yang telah dua kali berhasil masuk ke negara bagian Rakhine, Myanmar, mengaku tidak temukan cerita pembantaian terhadap Muslim di sana.
Seperti yang diberitakan Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Minggu (31/5/2015), dr. Tonggo Meaty mengatakan, "yang salah dari pemberitaan media adalah pada 2012 diberitakan banyak pembantaian Muslim yang tergeletak di mana-mana. Tapi saat kami datang ke Myanmar, kami tidak menemukan."
dr. Meaty mengatakan bahwa ada bekas-bekas pembakaran yang timnya saksikan selama perjalanan yang merupakan milik kedua belah pihak yang berkonflik.
“Bekas masjid dibakar ada, bekas kuil dibakar juga ada, dan rumah-rumah di perkampungan,” katanya.
Meaty mengaku, ketika tim yang dipimpinnya berangkat ke Rakhine, banyak yang berpesan, “Hati-hati, banyak yang dibakar-bakar”.
“Tidak ada berita itu, bahkan orang-orang Muslim yang ada di Myanmar tidak pernah mendengar berita itu,” katanya
“Ketika kami masuk, kami tanya yang dibakar di mana, ternyata tidak ada yang dibakar. Itu yang mengatakan orang Rohingya sendiri di dalam kamp,” tegasnya.
Melihat kenyataan yang ada dr. Meaty berkesimpulan bahwa adanya pihak ketiga yang sengaja menyebarkan berita pembantaian terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Kesimpulan dr. Meaty mengenai keberadaan pihak ketiga sangatlah beralasan, mengingat secara geopolitik kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang cukup penting sehingga ketidakstabilan kawasan ini dapat dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk meraup keuntungan.
Media berita juga merupakan salah satu pihak ketiga yang disadari maupun tidak meraup keuntungan dari konflik ini. Semakin hangat dan semakin berdarah sebuah konflik maka berita tersebut akan laku terjual (dibaca). Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari hal ini dan langsung percaya kepada pemberita tersebut tanpa penyelidikan lebih dulu.
Di sisi lain ada juga pihak-pihak yang masih mempertanyakan kesaksian dan peninjauan dr. Meaty di lapangan (Myanmar) dengan alasan adanya pengakuan dari orang Rohingya yang menjadi "pengungsi" yang mengatakan adanya pembantaian.
Tapi pengakuan atau klaim hanyalah akan menjadi klaim semata jika tanpa adanya bukti lain dan konfirmasi di lapangan. Seseorang bisa saja mengaku sebagai seorang polisi, tapi apakah pengakuan tersebut sudah cukup? Tentu tidak, data-data, fakta-fakta lain perlu ada seperti dokumen yang menyatakan bahwa ia adalah seorang polisi, ada fakta di lapangan atau di markas polisi bahwa ia bekerja sebagai polisi. Jadi tidak hanya dari pengakuan semata.
Lalu apa alasan mereka mengaku adanya pembantaian di negara asalnya? Banyak alasan lain, salah satu di antaranya adalah untuk memudahkan mereka masuk ke negara lain untuk mencari pekerjaan atau motif-motif ilegal lainnya. Bahkan ancaman dari para bandar perdagangan manusia (human trafficking) agar memudahkan mereka sampai di tempat tujuannya untuk dijual pun sangat memungkinkan.(Baca: Waspadai Kehadiran Rohingya Palsu Dan Perdagangan Manusia).
Keberadaan perdagangan manusia (human trafficking) sendiri telah terungkap dengan ditemukannya kamp-kamp transit di wilayah Malaysia yang berbatasan dengan Thailand seperti yang diberitakan Bernama, Sabtu (30/5/2015). Namun sayang masalah human trafficking ini seolah-olah dikesampingkan oleh media yang sibuk berfokus pada pengungsi Rohingya yang justru masih dipertanyakan alasan mereka datang.[JD]
Kontribusi Sumber: mirajnews.com/id/internasional/asia/relawan-merc-tidak-temukan-cerita-pembantaian-di-myanmar/
Ketua Divisi Relawan MER-C, dr. Tonggo Meaty Fransisca yang telah dua kali berhasil masuk ke negara bagian Rakhine, Myanmar, mengaku tidak temukan cerita pembantaian terhadap Muslim di sana.
Seperti yang diberitakan Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Minggu (31/5/2015), dr. Tonggo Meaty mengatakan, "yang salah dari pemberitaan media adalah pada 2012 diberitakan banyak pembantaian Muslim yang tergeletak di mana-mana. Tapi saat kami datang ke Myanmar, kami tidak menemukan."
dr. Meaty mengatakan bahwa ada bekas-bekas pembakaran yang timnya saksikan selama perjalanan yang merupakan milik kedua belah pihak yang berkonflik.
“Bekas masjid dibakar ada, bekas kuil dibakar juga ada, dan rumah-rumah di perkampungan,” katanya.
Meaty mengaku, ketika tim yang dipimpinnya berangkat ke Rakhine, banyak yang berpesan, “Hati-hati, banyak yang dibakar-bakar”.
“Tidak ada berita itu, bahkan orang-orang Muslim yang ada di Myanmar tidak pernah mendengar berita itu,” katanya
“Ketika kami masuk, kami tanya yang dibakar di mana, ternyata tidak ada yang dibakar. Itu yang mengatakan orang Rohingya sendiri di dalam kamp,” tegasnya.
Melihat kenyataan yang ada dr. Meaty berkesimpulan bahwa adanya pihak ketiga yang sengaja menyebarkan berita pembantaian terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Kesimpulan dr. Meaty mengenai keberadaan pihak ketiga sangatlah beralasan, mengingat secara geopolitik kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang cukup penting sehingga ketidakstabilan kawasan ini dapat dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk meraup keuntungan.
Media berita juga merupakan salah satu pihak ketiga yang disadari maupun tidak meraup keuntungan dari konflik ini. Semakin hangat dan semakin berdarah sebuah konflik maka berita tersebut akan laku terjual (dibaca). Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari hal ini dan langsung percaya kepada pemberita tersebut tanpa penyelidikan lebih dulu.
Di sisi lain ada juga pihak-pihak yang masih mempertanyakan kesaksian dan peninjauan dr. Meaty di lapangan (Myanmar) dengan alasan adanya pengakuan dari orang Rohingya yang menjadi "pengungsi" yang mengatakan adanya pembantaian.
Tapi pengakuan atau klaim hanyalah akan menjadi klaim semata jika tanpa adanya bukti lain dan konfirmasi di lapangan. Seseorang bisa saja mengaku sebagai seorang polisi, tapi apakah pengakuan tersebut sudah cukup? Tentu tidak, data-data, fakta-fakta lain perlu ada seperti dokumen yang menyatakan bahwa ia adalah seorang polisi, ada fakta di lapangan atau di markas polisi bahwa ia bekerja sebagai polisi. Jadi tidak hanya dari pengakuan semata.
Lalu apa alasan mereka mengaku adanya pembantaian di negara asalnya? Banyak alasan lain, salah satu di antaranya adalah untuk memudahkan mereka masuk ke negara lain untuk mencari pekerjaan atau motif-motif ilegal lainnya. Bahkan ancaman dari para bandar perdagangan manusia (human trafficking) agar memudahkan mereka sampai di tempat tujuannya untuk dijual pun sangat memungkinkan.(Baca: Waspadai Kehadiran Rohingya Palsu Dan Perdagangan Manusia).
Keberadaan perdagangan manusia (human trafficking) sendiri telah terungkap dengan ditemukannya kamp-kamp transit di wilayah Malaysia yang berbatasan dengan Thailand seperti yang diberitakan Bernama, Sabtu (30/5/2015). Namun sayang masalah human trafficking ini seolah-olah dikesampingkan oleh media yang sibuk berfokus pada pengungsi Rohingya yang justru masih dipertanyakan alasan mereka datang.[JD]
Kontribusi Sumber: mirajnews.com/id/internasional/asia/relawan-merc-tidak-temukan-cerita-pembantaian-di-myanmar/