Indonesia - Setidaknya sudah dua kali selama kurang dari seminggu, terjadi kekerasan Muslim radikal terhadap agama minoritas. Pertama, tindak kekerasan dan intoleransi beragama terjadi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jemaat Santo Fransiscus Agung Gereja Banteng, Ngaglik, Sleman, yang sedang beribadah diserang oleh sekelompok pria berbaju gamis (pakaian khas Muslim) bersenjata tajam.
Kejadian itu terjadi pada Kamis malam, 29 Mei 2014. Acara kebaktian digelar di rumah Direktur Galang Press Julius Felicianus, 54 tahun, di Perumahan YKPN Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Yogyakarta.
Julius dikeroyok oleh banyak orang bergamis. Akibatnya, ia mengalami luka di kepala dan tulang punggungnya retak. "Luka sudah dijahit, tulang punggung sebelah kiri patah, dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih," kata Julius, Jumat, 30 Mei 2014, seperti yang diberitakan oleh Tempo.co pada Jumat (30/5/2014) dengan tajuk berita Umat Katolik di Sleman Diserang Kelompok Bergamis.
Tindakan brutal sekelompok massa dengan senjata tajam dan tumpul itu merupakan tindak anarkis dan intoleran dalam kehidupan beribadah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa waktu lalu kejadian serupa juga terjadi di Gunung Kidul, yakni berupa penutupan sebuah gereja dan penganiayaan terhadap aktivis lintas agama.
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan tanggapan mengenai penyerangan gereja oleh sejumlah massa tak dikenal berbaju Muslim di Sleman. Melalui akun twitter nya, SBY mengingatkan agar masyarakat Indonesia menghormati kebebasan beragama.
"Menanggapi penyerangan umat Katolik di Sleman, saya tidak bosan ingatkan agar semua elemen masyarakat saling hormati kebebasan beragama," tulis SBY seperti dikutip detikcom dari akun twitter @SBYudhoyono, Selasa (3/6/2014).
Namun, tiga hari kemudian Majelis Jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia Pangukan, Tridadi, Sleman, melaporkan perusakan bangunan yang digunakan sebagai tempat ibadah ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin 2 Juni 2014. Perusakan oleh massa berjubah dan berpeci terjadi pada Ahad, 1 Juni 2014.
"Kami melaporkan kasus perusakan tempat ibadah kami," kata salah satu pengurus gereja, Yosias Imar, di Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 2 Juni 2014 (Tempo.co 2 Juni 2014).
Sedikitnya enam orang melaporkan kejadian itu. Termasuk pemilik bangunan dan pendeta, yaitu Nico Lomboan.
Meskipun izin mendirikan bangunan (IMB)-nya untuk rumah, tempat itu digunakan untuk ibadah sejak 1990. Dan, saat direnovasi menjadi bangunan mirip gereja pada 2010, masyarakat menolak kemudian masalah ini berlarut hingga ada penyegelan sejak 2012 lalu.
Untungnya, saat jemaat beribadah dan diminta bubar oleh warga, tidak ada yang bentrok secara fisik meskipun ada ketegangan pada pagi hari. Namun pada siang hari datang sekelompok orang yang justru merusak pagar seng dan memecahkan kaca dengan lemparan batu dan palu besar.
Padahal saat itu polisi dibantu tentara sudah berjaga. Namun massa nekat dan merusak bangunan.
Penyerangan ini bermula ketika para jemaat membuka segel bangunan itu. Sebenarnya saat itu masih hangat kasus penyerangan umat Katolik saat berdoa Rosario di Perumahan STIE YKPN di Ngaglik, Sleman. Ketika kasus ini belum selesai, para jemaat Kristen tersebut justru membuka segel bangunan dan beribadah di tempat itu. Warga pun meminta mereka bubar.[sumber: Tempo dan detik)
Kejadian itu terjadi pada Kamis malam, 29 Mei 2014. Acara kebaktian digelar di rumah Direktur Galang Press Julius Felicianus, 54 tahun, di Perumahan YKPN Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Yogyakarta.
Julius dikeroyok oleh banyak orang bergamis. Akibatnya, ia mengalami luka di kepala dan tulang punggungnya retak. "Luka sudah dijahit, tulang punggung sebelah kiri patah, dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih," kata Julius, Jumat, 30 Mei 2014, seperti yang diberitakan oleh Tempo.co pada Jumat (30/5/2014) dengan tajuk berita Umat Katolik di Sleman Diserang Kelompok Bergamis.
Tindakan brutal sekelompok massa dengan senjata tajam dan tumpul itu merupakan tindak anarkis dan intoleran dalam kehidupan beribadah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa waktu lalu kejadian serupa juga terjadi di Gunung Kidul, yakni berupa penutupan sebuah gereja dan penganiayaan terhadap aktivis lintas agama.
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan tanggapan mengenai penyerangan gereja oleh sejumlah massa tak dikenal berbaju Muslim di Sleman. Melalui akun twitter nya, SBY mengingatkan agar masyarakat Indonesia menghormati kebebasan beragama.
"Menanggapi penyerangan umat Katolik di Sleman, saya tidak bosan ingatkan agar semua elemen masyarakat saling hormati kebebasan beragama," tulis SBY seperti dikutip detikcom dari akun twitter @SBYudhoyono, Selasa (3/6/2014).
Namun, tiga hari kemudian Majelis Jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia Pangukan, Tridadi, Sleman, melaporkan perusakan bangunan yang digunakan sebagai tempat ibadah ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin 2 Juni 2014. Perusakan oleh massa berjubah dan berpeci terjadi pada Ahad, 1 Juni 2014.
"Kami melaporkan kasus perusakan tempat ibadah kami," kata salah satu pengurus gereja, Yosias Imar, di Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 2 Juni 2014 (Tempo.co 2 Juni 2014).
Sedikitnya enam orang melaporkan kejadian itu. Termasuk pemilik bangunan dan pendeta, yaitu Nico Lomboan.
Meskipun izin mendirikan bangunan (IMB)-nya untuk rumah, tempat itu digunakan untuk ibadah sejak 1990. Dan, saat direnovasi menjadi bangunan mirip gereja pada 2010, masyarakat menolak kemudian masalah ini berlarut hingga ada penyegelan sejak 2012 lalu.
Untungnya, saat jemaat beribadah dan diminta bubar oleh warga, tidak ada yang bentrok secara fisik meskipun ada ketegangan pada pagi hari. Namun pada siang hari datang sekelompok orang yang justru merusak pagar seng dan memecahkan kaca dengan lemparan batu dan palu besar.
Padahal saat itu polisi dibantu tentara sudah berjaga. Namun massa nekat dan merusak bangunan.
Penyerangan ini bermula ketika para jemaat membuka segel bangunan itu. Sebenarnya saat itu masih hangat kasus penyerangan umat Katolik saat berdoa Rosario di Perumahan STIE YKPN di Ngaglik, Sleman. Ketika kasus ini belum selesai, para jemaat Kristen tersebut justru membuka segel bangunan dan beribadah di tempat itu. Warga pun meminta mereka bubar.[sumber: Tempo dan detik)