Depag: Memahami Hakikat Salafi

Berikut salah satu artikel dari Departemen Agama RI provinsi Riau yang membahas mengenai Salafi yang merupakan perubahan nama dari aliran pemikiran Wahabi.




Berbagai pengaduan masyarakat, membuat saya terpanggil menyingkap perbedaan pemikiran diantara sesama ulama Salafi. Tujuannya, agar jamaah Salafi terlebih dahulu menjelaskan sikap mereka terhadap perbedaan pemikiran diantara ulama panutan mereka, sebelum mereka mengklaim bid’ah dan sesat pendapat ulama di luar Salafi. Perbedaan diantara ulama Salafi bukan saja terjadi dalam masalah fiqh, tapi juga terjadi dalam masalah akidah. Apakah jamaah Salafi menerima perbedaan itu sebagai hal yang wajar, atau bahkan mereka menerima sebagiannya dan mengklaim bid’ah dan sesat pendapat yang lain?


Jika mereka menerima perbedaan itu secara wajar, maka perlakukan juga sikap seperti itu terhadap perbedaan pendapat yang terjadi antara ulama Salafi dengan ulama Islam yang lain, tidak bersikap diskriminatif. Karena semua ulama itu punya kedudukan yang sama dalam Islam.

Hakikat Salafi

Salafi merupakan perubahan nama dari aliran pemikiran Wahabi. Tentang pemikiran dan pengaruh pendiri aliran Wahabi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab itu bisa ketahui melalui berbagai buku sejarah. Diantaranya yang tertulis dalam buku Syaikh Utsman bin Basyar al-Hanbaly: Unwan al-Majd Fi Tarikh al-Najd, buku Dr. Abdullah al-Shaleh al-Utsaimin: Buhuts Wa Ta’liqat Tarikh al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, dan buku Dr. Louis de Corancez: al-Wahhabiyun Tarikh Ma Ahmalah al-Tarikh.

Jadi, tidak ada perbedaan antara Wahabi dan Salafi. Dan pendiri pemikiran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab mengajak kepada pemikiran Imam Ibnu Taimiyah dan sebagian ulama mazhab Hanbali (Syaikh Hasan Ali al-Saqqaf: al-Salafiyah al-Wahhabiyah).

Aliran pemikiran Salafi Wahabi ini bukan tiga generasi terbaik (sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in) yang tersebut dalam hadits Imam al-Bukhari. Tiga generasi Islam terbaik itu tidak meninggalkan metodologi baku yang mesti diikut oleh generasi Islam setelahnya. Dan pada masa tabi’in terdapat dua metodologi pemikiran berbeda, yaitu madrasah al-hadits dan madrasah al-ra’yi. Pemahaman mereka terhadap sumber utama Islam, Alquran dan Sunnah juga ada terjadi perbedaan pendapat. Diantaranya, mayoritas ulama generasi terbaik itu (salaf al-shaleh) mengatakan bahwa Allah SWT bisa dilihat di akhirat nanti. Pendapat mayoritas ini berbeda dengan pendapat Sayidah Aisyah, Imam Mujahid, Imam Ikrimah, dan kelompok Mu’tazilah yang berpegang pada keumuman ayat 103 dalam surah al-An’am. Baca selengakapnya