Indonesia - Warga etnis Tionghoa dilarang memiliki tanah di Yogyakarta, demikian sebuah peraturan bersifat rasis dan diskriminatif yang tertuang dalam peraturan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Peraturan berupa larangan bagi warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di DIY didasari Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Kebijakan Pemberian Hak atas Tanah kepada WNI Non-Pribumi. Aturan itu diteken oleh Wakil Gubernur DIY Paku Alam VIII pada 1975.
Peraturan rasis dan diskriminatif ini terungkap setelah Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan membenarkan adanya aturan kepemilikan tanah diskriminatif di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seperti yang dilansir Tempo.co, Senin (7/9/2015), Ketua Gerakan Anak Negeri Anti-Diskriminasi (Granad) Willie Sebastian memprotes pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang mengenai keberadaan peraturan diskriminatif tersebut.(baca: 5 Negara Paling Rasis, 4 di Antaranya Negara Mayoritas Muslim)
"Ferry harus meminta maaf kepada warga Tionghoa dan mencabut pernyataannya," katanya kepada Tempo, Minggu, (6/9/2015).
Willie mengatakan bahwa hingga kini Badan Pertanahan Nasional di Yogyakarta tidak bersedia memberikan sertifikat hak kepemilikan tanah kepada warga Tionghoa karena ada aturan tersebut. Menurut Willie, pihaknya sudah beberapa kali meminta pemerintah Yogyakarta mencabut aturan itu, tapi selalu ditolak.
Kus Sri Antoro, Peneliti Forum Komunikasi Masyarakat Agraris, menyatakan, larangan memiliki tanah bagi warga Tionghoa tidak memiliki dasar hukum. Apalagi aturan larangan dikeluarkan pada 1975 atau sebelum ada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1984. Peraturan itu menetapkan pemberlakuan secara penuh Undang-Undang Pokok Agraria di Yogyakarta berlaku surut.
(sumber: Tempo)
Tugu Pal Putih, DIY. Foto: wikimedia.org |
Peraturan berupa larangan bagi warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di DIY didasari Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Kebijakan Pemberian Hak atas Tanah kepada WNI Non-Pribumi. Aturan itu diteken oleh Wakil Gubernur DIY Paku Alam VIII pada 1975.
Peraturan rasis dan diskriminatif ini terungkap setelah Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan membenarkan adanya aturan kepemilikan tanah diskriminatif di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seperti yang dilansir Tempo.co, Senin (7/9/2015), Ketua Gerakan Anak Negeri Anti-Diskriminasi (Granad) Willie Sebastian memprotes pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang mengenai keberadaan peraturan diskriminatif tersebut.(baca: 5 Negara Paling Rasis, 4 di Antaranya Negara Mayoritas Muslim)
"Ferry harus meminta maaf kepada warga Tionghoa dan mencabut pernyataannya," katanya kepada Tempo, Minggu, (6/9/2015).
Willie mengatakan bahwa hingga kini Badan Pertanahan Nasional di Yogyakarta tidak bersedia memberikan sertifikat hak kepemilikan tanah kepada warga Tionghoa karena ada aturan tersebut. Menurut Willie, pihaknya sudah beberapa kali meminta pemerintah Yogyakarta mencabut aturan itu, tapi selalu ditolak.
Kus Sri Antoro, Peneliti Forum Komunikasi Masyarakat Agraris, menyatakan, larangan memiliki tanah bagi warga Tionghoa tidak memiliki dasar hukum. Apalagi aturan larangan dikeluarkan pada 1975 atau sebelum ada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1984. Peraturan itu menetapkan pemberlakuan secara penuh Undang-Undang Pokok Agraria di Yogyakarta berlaku surut.
(sumber: Tempo)