Jaga Netralitas, Perusahaan Boleh Larang Penggunaan Simbol Agama

Belgia - Perusahaan sering menjadi sasaran tudingan telah melakukan diskriminasi atau bersikap rasis saat menerapkan kebijakannya melarang karyawannya untuk tidak menggunakan simbol agama seperti kerudung (khimar). Tapi sekarang tidak lagi, setidaknya bagi perusahaan di Belgia.

Perusahaan di Belgia berhak larang karyawan menggunakan pakaian keagamaan. Foto: Express.co.uk/Getty

Perusahaan di Belgia maupun di Uni Eropa berhak dan diperbolehkan untuk melarang karyawannya menggunakan simbol-simbol agama asalkan larangan tersebut diterapkan secara merata untuk semua agama, kata  penasihat hukum kebijakan publik untuk Uni Eropa, Juliane Kokott, seperti yang dilansir Express.co.uk, Rabu (1/6/2016).

Hal tersebut ia nyatakan terkait dengan perusahaan jasa keamanan G4S yang memecat Samira Achbita, wanita Muslim Belgia yang merupakan karyawan resepsionis karena menolak melepaskan kerudungnya saat bekerja.

Juliane mengatakan bahwa perusahaan jasa keamanan G4S tidak melanggar undang-undang anti-diskriminasi Uni Eropa ketika memecat pegawai wanita Muslim itu.

Dengan ketentuan bahwa larangan menggunakan simbol ataupun pakaian agama pada perusahaan dilakukan secara merata, ini berarti perusahaan juga diperbolehkan untuk melarang karyawannya yang beragama Kristen untuk mengenakan salib, Sikh mengenakan turban dan orang-orang Yahudi memakai kippah.

Juliane juga mengatakan bahwa pebisnis atau perusahaan memiliki hak dasar untuk mengadopsi suatu "kebijakan netralitas yang ketat terhadap agama dan ideologi ". 

Sebagai contoh dalam kasus perusahaan G4S, menurut Juliane, perusahaan tersebut  tidak memiliki kewajiban untuk mengubah kebijakan seragam mereka untuk mengakomodasi keinginan Samira Achbita.

Karyawan perusahaan boleh berasal dari latar belakang yang berbeda dalam hal jenis kelamin,  warna kulit, etnis, orientasi seksual, usia,  atau karakter lainnya.

Meski demikian berbeda dalam urusan identitas agamanya. Para karyawan harus berusaha untuk  memoderasi pelaksanaan agamanya di tempat kerja.

"Dalam kasus-kasus seperti ini tidak menunjukkan bahwa seorang individu yang 'diperlakukan tidak adil',” ujar Juliane menyangkut kasus G4S.

Pendapat Juliane Kokott tersebut setidaknya memberikan indikasi yang baik tentang bagaimana pengadilan tinggi Eropa akan mulai memberikan perintah terhadap kasus-kasus serupa ke depannya.

Dan kasus di Belgia ini bisa menjadi acuan bagi perusahaan di mana pun untuk berhak menjaga netralitas perusahaan mereka dari pengaruh agama mana pun tanpa dituding sebagai perusahaan yang diskriminasi.[JD]