Pakar Internasional: Tidak Ada Etnis Rohingya di Myanmar

Myanmar - Tidak ada yang namanya etnis Rohingya di Myanmar dan istilah Rohingya secara tepat berarti Benggala seperti yang Myanmar sebutkan. Demikian yang disampaikan oleh para pakar internasional mengenai sejarah Rakhine dalam sebuah seminar yang diadakan di Universitas Mahidol, Thailand pada 9 Maret 2013 yang lalu. Sebuah fakta yang terlewatkan (dilewatkan?) oleh media massa.

Seminar tersebut diselenggarakan dengan tiga tujuan yaitu untuk memperkenalkan sejarah Rakhine kepada komunitas internasional, untuk mengabaikan nama Rohingya yang digunakan oleh para media internasional dan untuk menyelesaikan referensi yang handal dari penjelasan sejarah Rakhine oleh para sejarawan internasional, demikian kata Kyaw Thaung ketua komite penyelenggara seminar tersebut.

Dalam sebuah seminar Pakar Internasional mengatakan tidak ada etnis Rohingya di Myanmar, 9 Maret 2013
Dr. Jet Pilder dari Departemen Studi Asia di Perancis, Profesor Stephen van Galen dari Universitas Leiden, dan Profesor Sejarah Aye Chan dari Studi Internasional Universitas Kanda, Jepang, memberikan penjelasan mengenai sejarah Arakan (Rakhine).

Dr. Jet Pilderdari Perancis menjelaskan tentang keberadaan kerajaan Arakan, pendudukan Bodaw Phaya terhadap Arakan dan situasi politik, agama dan ekonomi.

Telah terjadi perubahan di sektor politik, ekonomi dan sosial selama Myanmar memerintah Arakan tahun 1785-1825. Warga Rakhine kelas atas dihukum dengan mengirimkan mereka ke pengasingan pada tahun 1785 hingga 1795. Pemerintahan bersama-sama dikendalikan oleh Myanmar dan Rakhine.

Peningkatan pajak dikumpulkan dan kerja paksa terlihat pada tahun 1795-1810 saat warga Myanmar mulai menempati wilayah tersebut. Pembekalan-pembekalan disediakan bagi pertempuran raja Myanmar. Sebuah pemberontakan terhadap kekuasaan raja Myanmar 1787-1815 membuat warga Rakhine menuju Benggala bagian selatan.

Situasi ekonomi masyarakat Rakhine mulai berubah tahun 1815-1825. Raja Myanmar tidak menghadapi ancaman apapun selama periode itu.

Begitu pula Profesor Stephen van Galen memberikan pengarahan tentang hubungan antar wilayah Rakhine dan Benggala dari abad ke-15 hingga abad ke-18.

Dr Stephen van Galen memberikan pengarahan tentang puncak dari kerajaan Rakhine pada tahun 1635, meningkatnya peran penerimaan perdagangan ketika para raja Rakhine berkuasa penuh dan kegiatan perdagangan Belanda di bagian Rakhine dan Benggala.

Setelah tahun 1638, kendali Rakhine atas bagian tenggara Benggala berkurang karena kekurangan pendapatan pajak. Dan ekonomi Rakhine mengalami stagnasi setelah kehilangan Chittagong pada tahun 1666, ia menambahkan.

Ia juga menyampaikan alasan lain dampak pada perekonomian Rakhine setelah penarikan para pengusaha Belanda.

Dalam ceramahnya mengenai "Dari pemukiman lintas-batas Rakhine hingga kekerasan etnis", Dr. Aye Chan dari Studi Internasional Universitas Kanda menjelaskan telah terjadinya peningkatan pemukiman lintas-batas dari tahun 1826 hingga 1975, banyaknya pergerakan dari penduduk Chittagong yang menjadi mayoritas di kota-kota Maungdaw dan Buthedaung.

Ia mengatakan bahwa populasi Muslim Benggala meningkat dari 58.255 orang pada tahun 1871 menjadi 178.647 orang pada tahun 1911. Etnis Benggala menjadi kelompok mayoritas besar di kota Maungdaw dan Buthedaung. dengan presentasi masing-masing 94% dan 84% dari populasi di sana.

Ia juga menjelaskan pemberontak Mujahidin Muslim menghancurkan desa-desa Rakhine dan partai Muslim mengajukan tuntutan.

"Apa yang bisa saya katakan sebenarnya adalah bahwa mereka yang menyebut diri mereka Rohingya adalah benar-benar Benggala. Ini dapat dilihat dalam catatan zaman kolonial. Negara bagian Rakhine tidak terdapat etnis Rohingya," kata profesor sejarah tersebut.

Kemudian ia menjawab pertanyaan tentang sejarah Rakhine yang diajukan oleh mereka yang hadir.

Ditanya mengenai aneksasi (pengambilan dng paksa tanah /wilayah orang /negara lain untuk disatukan dng tanah (negara) sendiri) negara bagian Rakhine pada periode Pagan, Dr Jet Pilder menjawab bahwa tidak ada bukti untuk hal itu.

"Saya tidak pernah menemukan istilah 'Rohingya'. Tapi para pendatang Muslim tiba di Mrauk-U sekitar abad ke-17. Mereka tidak menyebut diri mereka sebagai Rohingya. Kebudayaan lain juga mencapai Mrauk-U pada abad ini. Orang Belanda pertama kali tiba di Mrauk-U pada tahun 1608. Ada banyak keturunan Belanda dengan ibu Arakan pada tahun 1640. Dapat dikatakan Mrauk-U sebagai sebuah kota yang 'penuh warna'," Profesor Dr Stephen van Galen dari Universitas Leiden menanggapi pertanyaan tentang istilah 'rohingya'.

"Tidak pernah ada seorang raja Muslim memerintah di negara bagian Rakhine menurut penelitian makalah saya tentang abad ke-17," ia juga menjawab sebuah pertanyaan.

"Saya juga telah berbicara tentang hal itu sebelumnya. Seorang pria bernama Abdul Gaffa dari Buthedaung, Rakhine menciptakannya (istilah 'rohingya') pada tahun 1951. Sebenarnya ia menciptakannya berdasarkan kata 'Roshang' atau 'Rohan'. Ini adalah kata dari bahasa Benggala yang berarti orang Rakhine," Profesor Dr Aye Chan dari Studi Internasional Universitas Kanda, Jepang menanggapi pertanyaan tentang kapan dan bagaimana istilah 'rohingya' digunakan.

Saat seorang aktivis Benggala Htay Lwin Oo menanyakan mengenai Rohingya dan negara Bagian Rakhine Dr. Aye Chan mengatakan bahwa istilah 'Rohan' bukan berarti para imigran gelap.[Sumber: No Rohingya in Myanmar; say international experts - Arakan Human Rights and Development Organisation) No Rohingya in Rakhine: academic - The Nation March 11, 2013]