Myanmar - Keberadaan Rohingya palsu tercium oleh Ketua Menteri Rakhine, Maung Maung Ohn, yang mengatakan bahwa para imigran yang menuju Indonesia, Malaysia dan Thailand adalah korban perdagangan manusia, bukan korban politik atau diskriminasi agama.
"Saya kecewa, dan benar-benar tidak setuju dan menolak tuduhan tersebut tidak berdasar oleh Amerika Serikat. Ini (migrasi) adalah perdagangan manusia, bukan (karena) diskriminasi politik atau agama sama sekali," kata Maung Maung Ohn atas tuduhan Amerika Serikat, setelah bertemu para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti yang dikutip Reuters, Jumat (22/5/2015) .
Angkatan Laut Myanmar menemukan dua kapal perdagangan manusia di lepas pantai Rakhine pada Kamis, kapal yang satu membawa imigran dan satunya kosong, kata pemerintah negara bagian Rakhine dalam sebuah pernyataan, Jumat.
"Salah satu sarat dengan sekitar 200 orang Benggala," pemerintah negara bagian tersebut, menggunakan istilah "Benggala" etnis yang berasal dari Bangladesh.
"Orang-orang di atas kapal itu semuanya dari Bangladesh," kata sekretaris eksekutif pemerintah negara bagian Rakhine, Tin Maung Swe. "Kami akan mendeportasi mereka." Seperti yang dilaporkan Reuters.
Hal ini diperkuat oleh juru bicara pemerintah Myanmar, Ye Htut, yang mengatakan dalam Facebook-nya seperti yang dilansir Reuters, Jumat (22/5/2015) bahwa Myanamr telah menyelamatkan sekitar 200 orang imigran korban perdagangan Manusia.
"Ketika melakukan patroli di perairan Myanmar, kapal militer Myanmar 568 menemukan sebuah kapal yang dipenuhi sekitar 200 warga Benggala dan satu kapal lainnya yang kosong di laut, sekitar 4 mil (6,4 kilometer) sebelah barat desa Thinbaw Gway, Maugdaw Township," katanya seperti yang juga dilansir Detik (22/5/2015).
Maung Maung Ohn mengatakan ia akan membawa sekelompok pejabat PBB untuk menemui imigran tersebut untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan korban perdagangan, bukan penganiayaan.
Kepala militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, juga meragukan para imigran yang sekarang dihebohkan tersebut dan menyatakan bahwa sebagian besar imigran gelap yang terdampar itu berasal dari Bangladesh.
"Ini menandakan bahwa sebagian besar korban diperkirakan akan mengakui diri mereka sebagai Rohingya dari Myanmar, dengan harapan mendapat bantuan dari UNHCR," katanya pada pertemuan dengan Wakil Menlu AS Antony Blinken.
Kata "Rohingya" kini seakan-akan menjadi paspor ataupun password (kata sandi) yang ampuh bagi para imigran gelap, khususnya dari Bangladesh, India dan Pakistan, untuk dapat memasuki negara yang ingin ditinggalinya.
Hal tersebut dikarenakan penggunaan
secara masif istilah "rohingya" oleh media dan dikaitkan dengan orang yang
dianggap sangat menderita yang perlu diberi perlindungan tanpa
pertimbangan apapun. (Baca: mengenai asal etnis Rohingya)
Dengan cukup mengklaim diri sebagai etnis Rohingya dan sedikit belajar dua tiga kata dalam bahasa Myanmar, seorang imigran gelap dapat dengan mudah menjadi bahan simpati dunia sehingga dapat dengan mudah mendapatkan izin masuk ke negara tujuannya dan mendapatkan bantuan dan perlindungan.
Keberadaan para Rohingya palsu ini sebenarnya sudah diwaspadai sejak tahun 2014 yang lalu. Bagi sebagian orang, khususnya mereka yang baik hati tapi terlalu naif tidak terpikirkan adanya hal seperti ini, dan tidak mempercayainya bahwa kebaikan hati mereka telah dimanfaatkan.
Dalam tulisan Jarum Detik pada Januari 2014 dengan tajuk Hati-Hati Pengungsi Muslim Rohingya Palsu Mencari Suaka telah disampaikan bagaimana imigran gelap tersebut menggunakan kata ampuh "Rohingya" sebagai salah satu cara untuk mendapatkan suaka.
Terbaru, seperti yang dilansir The Weekend Australian Magazine Sabtu(23/5/2015) Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, mengatakan bahwa para imigran yang datang ke Indonesia mayoritas bukanlah pengungsi Rohingya tetapi pekerja ilegal dari Bangladesh yang mencari pekerjaan di Malaysia.
"Mereka (Indonesia) percaya ada sekitar 7000 orang di laut (dan) mereka berpikir sekitar 30-40 persen adalah Rohingya, sisanya adalah Bangladesh; dan bukan pencari suaka, dalam kosa kata Indonesia, mereka bukan pengungsi, mereka adalah buruh ilegal, mereka telah dijanjikan atau mencari pekerjaan di Malaysia," kata Bishop kepada The Weekend Australian seperti yang dilansir SkyNews, Sabtu (23/5/2015).[JD]
"Saya kecewa, dan benar-benar tidak setuju dan menolak tuduhan tersebut tidak berdasar oleh Amerika Serikat. Ini (migrasi) adalah perdagangan manusia, bukan (karena) diskriminasi politik atau agama sama sekali," kata Maung Maung Ohn atas tuduhan Amerika Serikat, setelah bertemu para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti yang dikutip Reuters, Jumat (22/5/2015) .
Angkatan Laut Myanmar menemukan dua kapal perdagangan manusia di lepas pantai Rakhine pada Kamis, kapal yang satu membawa imigran dan satunya kosong, kata pemerintah negara bagian Rakhine dalam sebuah pernyataan, Jumat.
"Salah satu sarat dengan sekitar 200 orang Benggala," pemerintah negara bagian tersebut, menggunakan istilah "Benggala" etnis yang berasal dari Bangladesh.
"Orang-orang di atas kapal itu semuanya dari Bangladesh," kata sekretaris eksekutif pemerintah negara bagian Rakhine, Tin Maung Swe. "Kami akan mendeportasi mereka." Seperti yang dilaporkan Reuters.
Hal ini diperkuat oleh juru bicara pemerintah Myanmar, Ye Htut, yang mengatakan dalam Facebook-nya seperti yang dilansir Reuters, Jumat (22/5/2015) bahwa Myanamr telah menyelamatkan sekitar 200 orang imigran korban perdagangan Manusia.
"Ketika melakukan patroli di perairan Myanmar, kapal militer Myanmar 568 menemukan sebuah kapal yang dipenuhi sekitar 200 warga Benggala dan satu kapal lainnya yang kosong di laut, sekitar 4 mil (6,4 kilometer) sebelah barat desa Thinbaw Gway, Maugdaw Township," katanya seperti yang juga dilansir Detik (22/5/2015).
Maung Maung Ohn mengatakan ia akan membawa sekelompok pejabat PBB untuk menemui imigran tersebut untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan korban perdagangan, bukan penganiayaan.
Kepala militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, juga meragukan para imigran yang sekarang dihebohkan tersebut dan menyatakan bahwa sebagian besar imigran gelap yang terdampar itu berasal dari Bangladesh.
"Ini menandakan bahwa sebagian besar korban diperkirakan akan mengakui diri mereka sebagai Rohingya dari Myanmar, dengan harapan mendapat bantuan dari UNHCR," katanya pada pertemuan dengan Wakil Menlu AS Antony Blinken.
Kata "Rohingya" kini seakan-akan menjadi paspor ataupun password (kata sandi) yang ampuh bagi para imigran gelap, khususnya dari Bangladesh, India dan Pakistan, untuk dapat memasuki negara yang ingin ditinggalinya.
Imigran klaim diri sebagai Rohingya dari Sakhifara dan Boguardial, Myanmar (Burma). Dapatkah Anda temukan dalam peta Myanmar daerah tersebut? Foto: The Guardian. |
Dengan cukup mengklaim diri sebagai etnis Rohingya dan sedikit belajar dua tiga kata dalam bahasa Myanmar, seorang imigran gelap dapat dengan mudah menjadi bahan simpati dunia sehingga dapat dengan mudah mendapatkan izin masuk ke negara tujuannya dan mendapatkan bantuan dan perlindungan.
Keberadaan para Rohingya palsu ini sebenarnya sudah diwaspadai sejak tahun 2014 yang lalu. Bagi sebagian orang, khususnya mereka yang baik hati tapi terlalu naif tidak terpikirkan adanya hal seperti ini, dan tidak mempercayainya bahwa kebaikan hati mereka telah dimanfaatkan.
Dalam tulisan Jarum Detik pada Januari 2014 dengan tajuk Hati-Hati Pengungsi Muslim Rohingya Palsu Mencari Suaka telah disampaikan bagaimana imigran gelap tersebut menggunakan kata ampuh "Rohingya" sebagai salah satu cara untuk mendapatkan suaka.
Terbaru, seperti yang dilansir The Weekend Australian Magazine Sabtu(23/5/2015) Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, mengatakan bahwa para imigran yang datang ke Indonesia mayoritas bukanlah pengungsi Rohingya tetapi pekerja ilegal dari Bangladesh yang mencari pekerjaan di Malaysia.
"Mereka (Indonesia) percaya ada sekitar 7000 orang di laut (dan) mereka berpikir sekitar 30-40 persen adalah Rohingya, sisanya adalah Bangladesh; dan bukan pencari suaka, dalam kosa kata Indonesia, mereka bukan pengungsi, mereka adalah buruh ilegal, mereka telah dijanjikan atau mencari pekerjaan di Malaysia," kata Bishop kepada The Weekend Australian seperti yang dilansir SkyNews, Sabtu (23/5/2015).[JD]