Myanmar - Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, mengatakan tidak ada genosida terhadap Muslim Rohingya seperti yang viral di media sosial belakangan ini.
Ada informasi yang keliru terkait informasi mengenai genosida Muslim Rohingya, menurut Ito yang awal November telah mengunjungi daerah konflik di Myanmar.
"Saya orang yang langsung ke lapangan selama tujuh hari, bersama perwakilan Kedubes RI dan perwakilan UN. Pada awal November, kita rombongan delegasi yang baru pertama kali diberi akses melihat dan bertanya dengan Muslim Rohingya," katanya, seperti yang dilaporkan Republika pada Senin (21/11/2016).
Menyoal adanya pembakaran rumah-rumah di desa-desa Rohingya, Ito menyebutkan perlunya penyelidikan lebih lanjut.
Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan jumlah dari informasi yang beredar dengan kenyataan yang ada dan sedikit mencurigakan. Ia mencontohkan, ada satu kampung yang berjumlah 260-an rumah, kemudian 13 rumah yang dibakar di wilayah dekat Maungdaw.
"Dan lokasi pembakaran itu betul-betul kosong tidak ada bekas cangkir, piring. Jadi, betul-betul rumah itu dibakar dalam keadaan kosong," kata Ito.
Menurut , kalau memang tentara atau polisi di sana berniat ingin membakar, pasti bisa saja satu kampung dibakar habis. Dan pada saat pembakaran, laporan yang diterima pihak Kedubes RI di Yangoon, memang saat itu kampung betul-betul kosong. "Sampai kita datang, baru warga berbondong-bondong keluar dari persembunyian," kata mantan polisi yang pernah juga bertugas di Bosnia saat tragedi genosida di sana.
Ito menegaskan, jika memang benar ada pembantaian, tentu ada bekas-bekasnya."Karena kalau ada genosida bisa dilihat bekasnya," ujarnya.
Ito menjelaskan kronologi kembali mencuatnya isu Rohingya, dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun tv swasta Senin (21/11/2016).
Pada 9 Oktober 2016 lalu, sekelompok orang dari kelompok militan Rohingya (Rohingya Solidarity Organization - RSO) melakukan serangan terhadap sejumlah pos penjagaan polisi dan militer perbatasan di utara Myanmar yang menyebabkan 9 Polisi tewas ditembak oleh diduga teroris Muslim Rohingya tersebut.
Serangan tersebut ditanggapi oleh otoritas Myanmar dengan melakukan sebuah operasi pemulihan keamanan di daerah komunitas etnis Rohingya.
Ito juga mengatakan publik harus hati-hati menyebarkan dan menerima informasi terkait kekerasan dan pengusiran yang dilakukan terhadap etnis Rohingya. Apalagi menurutnya, dalam kasus Rohingya, ada peran kelompok militan Rohingya yang diketahui berhubungan dengan kelompok radikal dari Timur Tengah.
"Berita yang dimunculkan mungkin ada propaganda dari kelompok tertentu yang bermain di Rohingya," ujar Ito.
Adanya propaganda menjadi semakin kental setelah dalam investigasi yang dilakukan oleh pemerintah negara bagian Rakhine, membuktikan Muslim Rohingya membakar desanya sendiri untuk mencari dana dari dunia internasional.
Menurut Ito, hingga saat ini warga Muslim di Myanmar masih bisa bebas menjalankan ibadahnya.[JD]
Peta negara bagian Rakhine, Myanmar. Gbr: rfa.org |
"Saya orang yang langsung ke lapangan selama tujuh hari, bersama perwakilan Kedubes RI dan perwakilan UN. Pada awal November, kita rombongan delegasi yang baru pertama kali diberi akses melihat dan bertanya dengan Muslim Rohingya," katanya, seperti yang dilaporkan Republika pada Senin (21/11/2016).
Menyoal adanya pembakaran rumah-rumah di desa-desa Rohingya, Ito menyebutkan perlunya penyelidikan lebih lanjut.
Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan jumlah dari informasi yang beredar dengan kenyataan yang ada dan sedikit mencurigakan. Ia mencontohkan, ada satu kampung yang berjumlah 260-an rumah, kemudian 13 rumah yang dibakar di wilayah dekat Maungdaw.
"Dan lokasi pembakaran itu betul-betul kosong tidak ada bekas cangkir, piring. Jadi, betul-betul rumah itu dibakar dalam keadaan kosong," kata Ito.
Menurut , kalau memang tentara atau polisi di sana berniat ingin membakar, pasti bisa saja satu kampung dibakar habis. Dan pada saat pembakaran, laporan yang diterima pihak Kedubes RI di Yangoon, memang saat itu kampung betul-betul kosong. "Sampai kita datang, baru warga berbondong-bondong keluar dari persembunyian," kata mantan polisi yang pernah juga bertugas di Bosnia saat tragedi genosida di sana.
Ito menegaskan, jika memang benar ada pembantaian, tentu ada bekas-bekasnya."Karena kalau ada genosida bisa dilihat bekasnya," ujarnya.
Ito menjelaskan kronologi kembali mencuatnya isu Rohingya, dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun tv swasta Senin (21/11/2016).
Pada 9 Oktober 2016 lalu, sekelompok orang dari kelompok militan Rohingya (Rohingya Solidarity Organization - RSO) melakukan serangan terhadap sejumlah pos penjagaan polisi dan militer perbatasan di utara Myanmar yang menyebabkan 9 Polisi tewas ditembak oleh diduga teroris Muslim Rohingya tersebut.
Serangan tersebut ditanggapi oleh otoritas Myanmar dengan melakukan sebuah operasi pemulihan keamanan di daerah komunitas etnis Rohingya.
Ito juga mengatakan publik harus hati-hati menyebarkan dan menerima informasi terkait kekerasan dan pengusiran yang dilakukan terhadap etnis Rohingya. Apalagi menurutnya, dalam kasus Rohingya, ada peran kelompok militan Rohingya yang diketahui berhubungan dengan kelompok radikal dari Timur Tengah.
"Berita yang dimunculkan mungkin ada propaganda dari kelompok tertentu yang bermain di Rohingya," ujar Ito.
Adanya propaganda menjadi semakin kental setelah dalam investigasi yang dilakukan oleh pemerintah negara bagian Rakhine, membuktikan Muslim Rohingya membakar desanya sendiri untuk mencari dana dari dunia internasional.
Menurut Ito, hingga saat ini warga Muslim di Myanmar masih bisa bebas menjalankan ibadahnya.[JD]