Rusuh Papua Tolikara Karena Ekslusifitas, Kata Komnas HAM

Indonesia - Kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua pada Jumat (17/7/2015), tepat Idul Fitri, salah satunya disebabkan oleh ekslusifitas GIDI Tolikara demikian kata Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Dalam temuan Komnas HAM, sehari setelah kejadian kerusuhan Papua, menemukan empat fakta terkait kerusuhan yang melibatkan jemaat Gereja Injil di Indonesia (GIDI) dengan umat Islam di Tolikara dan kepolisian.

Seperti yang diberitakan Tempo, Sabtu (18/7/2015) Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan, "Yang terpenting bukan permusuhan antara GIDI dengan umat Islam."

Pigai mengatakan kerusuhan di Tolikara dipicu oleh surat edaran Ketua GIDI wilayah Tolikara, Pendeta Nayus Wenea dan Sekretaris GIDI Pendeta Marthe Jingga yang disampaikan ke Kepolisian Resort Tolikara, dan Pemerintah Daerah. Surat edaran tersebut berisi pemberitahuan tidak diizinkannya merayakan Idul Fitri di Karubaga Tolikara. Mereka juga meminta umat Islam tak berjilbab. Meski begitu, pada surat edaran yang sama, Nayus menjelaskan pihaknya juga melarang pemeluk agama mendirikan tempat ibadah di Tolikara.

"Penjelasan soal penutupan Gereja Adven menunjukkan bahwa GIDI Tolikara memang eksklusif dari agama lain," kata Pigai. "Mereka tidak membaca Islam sebagai musuh, tapi justru Kristen selain GIDI."

Pigai membenarkan tentang  surat edaran yang ditulis pada 11 Juli 2015. Dalam surat tersebut tertulis jemaat GIDI sengaja melarang perayaan Idul Fitri yang bersamaan dengan Seminar dan KKR Pemuda GIDI pada 13-19 Juli 2015. "Surat itu tidak palsu, tapi memang keliru," kata Pigai.

Pigai menyesalkan surat tersebut tidak direspons serius oleh pemerintah daerah Tolikara. Padahal, kata dia, jemaat GIDI tidak berhak melarang umat agama lain beribadah. "Pemerintah tidak mengantisipasi surat edaran itu. Mereka tidak melakukan upaya pencegahaan untuk menjaga ketertiban dan keamanan," kata Pigai.

Saat Idul Fitri, umat Muslim Tolikara tetap menggelar salat Idul Fitri dan mengumandangkan takbir dengan pengeras suara di lapangan Makoramil 1702/ Karubaga. Lapangan tersebut berdekatan dengan penyelenggaraan KKR jemaat GIDI.

Pigai mengatakan jemaat GIDI langsung marah dan memprotes polisi yang berjaga di sekitar lapangan. "Mereka protes karena sudah memberi iimbauan, kemudian polisi balik menembak warga," kata Pigai.

Akibat dari tembakan polisi tersebut 11 orang terluka, dan mengakibatkan satu anak Sekolah Dasar meninggal. Karena kerusuhan itu, kemudian jemaat GIDI mulai melempari batu kios dan Musala Baitul Mutaqin. Mereka juga membakar beberapa rumah, kios, dan musala itu.

"Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah musala. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka berbeda," kata Pigai yang menyayangkan sikap arogan aparat. Menurut dia, polisi di Papua terbiasa menangani kerusuhan dengan cara kekerasan.

Larangan melakukan ibadah terhadap umat agama lain oleh satu kelompok agama nampaknya sering terjadi di daerah-daerah namun nampaknya tidak disikapi serius oleh pemerintah atau justru tidak terdeteksi oleh pemerintah bahkan oleh Komnas HAM.

Seperti kasus lain, pada  perayaan Waisak oleh umat Buddha di Candi Bahal pada Minggu (31/5.2015) ditolak oleh ratusan santriwan/santriwati Pesantren Mustafawiyah Sungai Dua, Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Sumatera Utara. Padahal kegiatan tersebut telah diizinkan oleh pemerintah setempat. Peristiwa ini tidak menjadi perhatian secara nasional termasuk oleh Komans HAM.[Sumber]

Larangan melakukan ibadah terhadap umat agama lain oleh satu kelompok agama nampaknya perlu disikapi serius oleh pemerintah karena dapat melukai toreransi beragama.[JD]