Kofi Annan: Konflik "Rohingya" Bukan Genosida

Myanmar - Konflik etnis yang mengklaim diri sebagai "Rohingya" bukan genosida, demikian yang disampaikan Kofi Annan, mantan Sekretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat diwawancarai oleh BBC, Selasa (6/12/2016).

Peta negara bagian Rakhine, Myanmar. Gbr: rfa.org

"Saya pikir ada ketegangan, terjadi pertikaian, tapi saya tidak akan menempatkannya dengan cara yang dilakukan beberapa orang," katanya kepada BBC setelah perjalanan ke negara bagian Rakhine.

Pernyataan tersebut sekaligus membantah pernyataan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, yang menyatakan adanya genosida.

Sejumlah kalangan menilai pernyataan Najib Razak tersebut sebagai upaya pengalihan isu dugaan korupsi yang menerpanya dalam kasus 1MDB (1Malaysia Development Berhad), dan saat baru-baru ini rakyat Malaysia bergerak berdemo untuk menurunkannya dari tampuk pemerintahan.

Pernyataan Kofi Annan sejalan dengan pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, yang mengatakan tidak ada genosida terhadap Muslim Rohingya, dan hal ini membantah isu yang viral di media sosial dan yang didengungkan oleh organisasi Muslim belakangan ini.

Pemberitaan yang bias oleh media internasional yang memberikan kesan bahwa konflik yang terjadi di Rakhine hanya dirasakan oleh Muslim Rohingya juga dibantah oleh Kofi Annan.

"Anda bisa merasakan kedua komunitas merasa takut. Ada rasa takut, ada ketidakpercayaan. Ketakutan telah meningkat tetapi kita perlu menemukan cara memecahkan hal itu dan mulai mendorong masyarakat untuk berhubungan, "katanya Annan kepada BBC.

Pada 9 Oktober 2016 lalu, sekelompok orang dari kelompok militan Rohingya (Rohingya Solidarity Organization - RSO) melakukan serangan terhadap sejumlah pos penjagaan polisi dan militer perbatasan di utara Myanmar yang menyebabkan 9 Polisi tewas ditembak oleh diduga teroris Muslim Rohingya tersebut.

Meskipun dipertanyakan keakuratannya, sejumlah kelompok kemanusiaan mengklaim ada sekitar 21.900 orang menuju ke Bangaldesh karena konflik di negara bagian Rakhine tersebut.

Namun, Bangladesh sendiri telah meningkatkan keamanan di perbatasannya dalam menanggapi arus migran, dan hal ini telah dikritik oleh Amnesti Internasional karena Bangladesh memaksa ratusan masyarakat yang telah menyeberang ke perbatasan negaranya untuk kembali.[JD]